Skandal Lingkungan: Data Mengejutkan Ungkap Emisi Nyata Mobil PHEV 5 Kali Lebih Tinggi dari Klaim Resmi
Gousbuz.com – Jakarta, 28 Oktober 2025 — Klaim ramah lingkungan pada mobil Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) kini mendapat sorotan tajam. Badan Lingkungan Eropa (European Environment Agency – EEA) merilis data yang sangat mengejutkan. Data tersebut menunjukkan Emisi Nyata Mobil PHEV jauh lebih tinggi daripada angka resmi yang produsen publikasikan. Angka sebenarnya bahkan mencapai lima kali lipat dari klaim resmi produsen.
EEA pertama kali mengungkap data krusial ini. Selanjutnya, Transport & Environment (T&E) mengutip laporan tersebut. Sejauh ini, banyak pihak memang setuju bahwa PHEV menawarkan kombinasi kenyamanan mesin bensin dengan potensi efisiensi bahan bakar tinggi. Secara teori, PHEV seharusnya menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan mobil bermesin konvensional. Produsen mobil juga gigih berpendapat bahwa PHEV merupakan solusi transisi yang efektif. Mereka menggunakannya untuk menekan emisi. Terutama, hal ini penting saat peralihan penuh ke mobil listrik murni masih menghadapi berbagai tantangan.
Perbedaan Mencolok: Angka Resmi Versus Realitas Jalan Raya
BACA JUGA : Nmax Turbo Bekas Mulai Banjiri Pasar, Harga Lebih Murah Jutaan Rupiah
Studi terbaru dari EEA ini menghancurkan narasi tersebut. Studi ini menunjukkan PHEV menghasilkan lima kali lebih banyak karbon dioksida (CO2) dibandingkan angka resmi yang produsen publikasikan. Laporan EEA didasarkan pada analisis data lebih dari 127 ribu pengukur konsumsi bahan bakar bawaan PHEV. Mereka mengumpulkan data tersebut sepanjang tahun 2023.
Laporan tersebut secara spesifik menunjukkan bahwa Emisi Nyata Mobil PHEV rata-rata mencapai 139 gram CO2/km. Angka ini sangat kontras dengan angka resmi WLTP (Worldwide Harmonised Light Vehicle Test Procedure). Angka resmi WLTP hanya mencatat 28 g CO2/km. Disparitas besar ini memicu kekhawatiran serius mengenai keefektifan PHEV sebagai solusi iklim. Dengan demikian, publik mulai mempertanyakan kredibilitas uji standar yang berlaku saat ini.
Tren yang Bergerak Mundur: Mengapa Emisi Terus Meningkat?
BACA JUGA : Serah Terima Chery Tiggo: Panggung Pembuktian Dominasi 1.000 Unit CSH
Data EEA menunjukkan bahwa tren ini justru bergerak ke arah yang salah. Masalah emisi nyata PHEV seolah memburuk dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, PHEV yang terdaftar pada tahun 2022 menunjukkan emisi nyata empat kali lebih tinggi dari angka resmi. Emisi nyata saat itu tercatat 137 g CO2/km. Sementara itu, angka resmi WLTP rata-rata berada di 33 g CO2/km.
Bahkan pada tahun 2021, emisi nyata tercatat 134 g CO2/km. Angka ini masih jauh lebih tinggi dari angka resmi rata-rata 38 g CO2/km. Tren peningkatan emisi nyata mengindikasikan penggunaan PHEV di dunia nyata tidak seefisien yang diprediksi dalam lingkungan laboratorium.
Penyebab utama perbedaan ini terletak pada cara produsen menghitung emisi. Angka konsumsi bahan bakar resmi memang jarang sesuai dengan hasil di dunia nyata. Faktanya, hal yang sama jelas berlaku untuk PHEV. Produsen melakukan tes laboratorium untuk mempermudah dan menjadikan proses homologasi lebih adil bagi semua pihak. Namun, hasil tes tersebut seringkali menjadi tidak realistis dalam penggunaan sehari-hari.
Analisis Mendalam: Faktor Pemicu Disparitas Emisi
BACA JUGA ; Mercedes-Benz Resmi Luncurkan GLC Listrik, Harga Setara Versi Bensin
PHEV idealnya memanfaatkan mode listrik penuh untuk perjalanan jarak pendek. Tujuannya adalah meminimalkan penggunaan mesin bensin. Akan tetapi, banyak pengemudi di dunia nyata jarang mengisi daya baterai PHEV mereka secara teratur. Mereka justru lebih sering mengandalkan mesin bensin mobil mereka. Hal ini otomatis meningkatkan konsumsi bahan bakar dan emisi yang dihasilkan.
Di samping itu, mobil PHEV umumnya memiliki bobot yang lebih besar daripada mobil konvensional. Mereka membawa dua sistem penggerak sekaligus, yaitu baterai besar dan mesin bensin. Oleh karena itu, ketika baterai habis, mesin bensin harus bekerja lebih keras untuk menggerakkan bobot ekstra. Peningkatan beban kerja ini menghasilkan emisi yang jauh lebih tinggi daripada perkiraan model WLTP. Model WLTP mengasumsikan penggunaan baterai secara optimal dan rutin. Singkatnya, perilaku pengemudi adalah variabel penentu terbesar.
Kesaksian Konsumen: Bukti Nyata Emisi Nyata Mobil PHEV
BACA JUGA ; Suzuki Burgman Hydrogen: Jalan Berbeda Suzuki Menuju Era Karbon Netral
Kesaksian dari pemilik mobil PHEV di lapangan semakin membenarkan temuan EEA ini. Mengutip salah satu laporan dari Insideevs, seorang pemilik mobil PHEV merek Volvo memberikan konfirmasi yang kuat. Ia menceritakan pengalamannya dalam sebuah perjalanan baru-baru ini. Ia memastikan tangki bensin dan baterai mobilnya terisi penuh sebelum memulai perjalanan.
Hasil akhir perjalanan itu menunjukkan konsumsi bahan bakar 58,8 mil per galon, atau sekitar 4 liter/100 km. Angka ini dinilai sangat efisien untuk sebuah wagon yang memiliki bobot 2.000 kg dengan tenaga 455 hp. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh di atas klaim resmi Volvo. Klaim resmi produsen menyebutkan konsumsi bahan bakar hanya 1,1 liter/100 km. Selisih ini menunjukkan betapa besarnya gap antara data laboratorium dan kondisi jalan raya. Jelas, klaim efisiensi produsen perlu ditinjau ulang.
Implikasi Kebijakan: Masa Depan PHEV dan Insentif Pajak
Temuan EEA ini berimplikasi besar pada kebijakan lingkungan di Eropa dan dunia. Pemerintah di berbagai negara sering memberikan insentif pajak atau diskon besar untuk PHEV. Mereka berasumsi PHEV memenuhi standar emisi rendah. Data baru ini menunjukkan insentif tersebut mungkin tidak memberikan dampak lingkungan yang diharapkan. Misalnya, beberapa negara mungkin akan meninjau kembali insentif pajak yang mereka berikan untuk model-model PHEV tertentu.
EEA dan T&E mendesak agar aturan pengujian WLTP di masa depan diperketat. Mereka ingin memastikan data emisi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan penggunaan mobil oleh pengemudi sehari-hari. Upaya ini bertujuan menjembatani kesenjangan antara angka resmi dan Emisi Nyata Mobil PHEV. Transparansi data menjadi kunci utama. Regulator harus memastikan konsumen menerima informasi yang akurat mengenai dampak lingkungan dari kendaraan yang mereka beli. Pengurangan emisi secara nyata harus menjadi prioritas kebijakan, bukan sekadar angka di atas kertas.
